Thursday, October 22, 2020

Guru Harus Ngoding

 Guru Harus Ngoding

Sudah hampir 7 bulan pembelajaran dilaksanakan secara daring. Hal – hal yang sebelumnya dianggap luar biasa menjadi hal biasa, seperti tele conference menggunakan zoom atau webex, mengelola kelas dengan google classroom atau ed modoo, dan pelaksanaan evaluasi pembelajaran menggunakan google form atau quizziz. Dan masih banyak platform lagi yang bisa digunakan selama pembelajaran daring. Namun, hal – hal tersebut adalah hal – hal biasa yang jika diselenggarakan secara luring sama hal nya dengan pembelajaran kontekstual, walaupun memang dibeberapa kesempatan bisa kita lakukan pembelajaran kooperatif (berkelompok) dengan mem – break out siswa menjadi kepada beberapa kelompok dan setiap siswa berdiskusi dengan kelompoknya.

Hal – hal yang sebelumnya dianggap luar biasa oleh siswa pun menjadi hal yang biasa saja. Siswa yang sudah beradaptasi dengan sistem pembelajaran daring mulai merasa bosan, jenuh, dan tidak bersemangat. Siswa cenderung melakukan aktifitas lain diluar pembelajaran daring, seperti bermain game, chat dengan temannya, dan hal – hal yang dilakukan di luar pembelajaran daring. selama ini pembelajaran daring tidak memperhatikan aktivitas siswa selama pembelajaran, karena keterbatasan ruang dan kondisi membuat kegiatan – kegiatan yang biasanya diselenggarakan di luar kelas menjadi hanya sebatas depan kamera laptop atau gawai.

Semakin lamanya siswa di rumah dan ruang geraknya dibatasi, siswa lebih banyak berintraksi dengan gawainya. Gawai yang selama di sekolah tidak pernah digunakan, sekarang menjadi 24 jam penuh digunakan oleh siswa. Bervariatif penggunaannya, digunakan untuk bermedia sosial dengan teman-temannya, untuk streaming film, dan bermain games. Yang menjadi perhatian adalah kecanduan game yang dialami anak-anak selama pembelajaran daring. Hal ini pula yang menjadi keluhan dari wali murid dan para guru ketika anak – anak didiknya mulai kecanduan game. Dan kebanyakan dari game yang dimainkan oleh anak – anak tidak ada hubungannya dengan pelajaran di sekolah, seperti mobile legend, free fire, PUBG, dan among us. Seperti kita tahu dari empat game diatas tidak jauh dari saling membunuh dan yang lebih parahnya lagi game among us mengajarkan anak – anak untuk berbohong dan memfitnah temannya. Jika berbohong sudah menjadi kebiasaan maka hal ini akan terus terbaawa oleh anak – anak hingga dewasa, dan yang dikhawatirkan generasi mendatang menjadi generasi yang gemar berbohong dan mefitnah sehingga kehancuran sudah di depan mata.

Lantas dimanakah peran guru? Apakah guru hanya cukup dengan memberi nasihat tanpa memberi solusi alternatif? Anak – anak membutuhkan pengalih dari game yang biasa mereka mainkan. Mereka butuh permainan yang menyenangkan, namun game tersebut mengandung edukasi yang sangat tinggi dan nilai – nilai karakter kebangsaan yang kelak akan membangun negeri ini. Tidak dapat dipungkiri jika saat ini tren bermain game menjadi sangat popular dikalangan anak – anak, namun masih masih sedikit developer game yang mengarah ke arah edukasi dalam gamenya. Sehingga guru dituntut untuk mampu membuat game yang menarik dan menyenangkan. Kenapa harus guru? Karena guru faham apa yang menjadi kebutuhan bagi anak – anak disetiap jenjangnya. Untuk membuat game yang menarik tidak hanya dengan konsep yang menarik namun membutuhkan kemampuan ngoding juga. Sehingga guru dituntut untuk mampu ngoding dan menciptakan gamenya sendiri sesuai kebutuhan pembelajaran.

Pembelajaran dengan menggunakan permainan selama daring akan menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan. Jika setiap guru menciptakan game dalam setiap pembelajarannya maka akan menjadi aktifitas siswa dalam pembelajaran daring dan siswa pun akan menggunakan waktu belajarnya untuk menyelesaikan game yang diberikan oleh guru. Sejatinya game yang disukai oleh siswa adalah yang bersifat berjenjang (ada levelnya) dan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda – beda. Berjenjang dan tingkat kesulitan yang berbeda – beda sama halnya seperti belajar. Belajar ada level dan setiap level memiliki tingkat kesulitan. Untuk menciptakan game itu sendiri, guru membutuhkan skill coding untuk memahami beberapa bahasa pemrograman. Sehingga, saat ini bukan levelnya seorang guru sebagai user dari aplikasi yang sudah ada, namun menciptakan aplikasi sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Dan untuk membuat aplikasi sesuai kebutuhan pembelajaran, guru harus bisa ngoding.


 #PGRI, #KOGTIK, #EPSON dan #KSGN

Profil Penulis

Hilman Nuha Ramadhan, S.Pd.

Dilahirkan di Kota Kembang (Bandung), pada tanggal 9 April 1991. Merupakan anak kedua dari tigas bersaudara. Menempuh pendidikan formal dimulai dari SD YWKA III, MTs Al-Falah, SMAN 6 Bandung, dan kuliah S - 1 di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Matematika. Pengalaman mengajar dimulai di Alfa Centauri Bandung, di lembaga bimbingan belajar Fokus Study Club Jakarta, dan sekarang di SMP Islam Nurul Fikri Boarding School. Beberapa prestasi telah diraih dari Juara 3 Indonesia Teacher Prize 2019 presented by ruang guru 


kemudian peserta terbaik ketiga pada Joyfull Learning in Mathematics Education for junior high School Mathematics Teacher by SEAMEO QITEP in Math 2019 di Jogjakarta. Kontributor Lomba Aplikasi Mobile Kihajar 2019 diselenggarakan oleh BPMPK. peraih silver medal pada ajang READ1 online Competition for Teacher tingkat SMP 2020. Juara Favorit pada kontes guru online yang diselenggarakan oleh Erlangga.









No comments:

Post a Comment