Guru Harus Ngoding
Sudah hampir
7 bulan pembelajaran dilaksanakan secara daring. Hal – hal yang sebelumnya
dianggap luar biasa menjadi hal biasa, seperti tele conference menggunakan zoom
atau webex, mengelola kelas dengan google classroom atau ed modoo, dan pelaksanaan evaluasi
pembelajaran menggunakan google form
atau quizziz. Dan masih banyak platform lagi yang bisa digunakan selama
pembelajaran daring. Namun, hal – hal tersebut adalah hal – hal biasa yang jika
diselenggarakan secara luring sama hal nya dengan pembelajaran kontekstual,
walaupun memang dibeberapa kesempatan bisa kita lakukan pembelajaran kooperatif
(berkelompok) dengan mem – break out siswa
menjadi kepada beberapa kelompok dan setiap siswa berdiskusi dengan
kelompoknya.
Hal – hal yang
sebelumnya dianggap luar biasa oleh siswa pun menjadi hal yang biasa saja. Siswa
yang sudah beradaptasi dengan sistem pembelajaran daring mulai merasa bosan,
jenuh, dan tidak bersemangat. Siswa cenderung melakukan aktifitas lain diluar
pembelajaran daring, seperti bermain game, chat dengan temannya, dan hal – hal yang
dilakukan di luar pembelajaran daring. selama ini pembelajaran daring tidak
memperhatikan aktivitas siswa selama pembelajaran, karena keterbatasan ruang
dan kondisi membuat kegiatan – kegiatan yang biasanya diselenggarakan di luar
kelas menjadi hanya sebatas depan kamera laptop atau gawai.
Semakin lamanya
siswa di rumah dan ruang geraknya dibatasi, siswa lebih banyak berintraksi
dengan gawainya. Gawai yang selama di sekolah tidak pernah digunakan, sekarang
menjadi 24 jam penuh digunakan oleh siswa. Bervariatif penggunaannya, digunakan
untuk bermedia sosial dengan teman-temannya, untuk streaming film, dan bermain games.
Yang menjadi perhatian adalah kecanduan game yang dialami anak-anak selama
pembelajaran daring. Hal ini pula yang menjadi keluhan dari wali murid dan para
guru ketika anak – anak didiknya mulai kecanduan game. Dan kebanyakan dari game
yang dimainkan oleh anak – anak tidak ada hubungannya dengan pelajaran di
sekolah, seperti mobile legend, free fire, PUBG, dan among us. Seperti kita
tahu dari empat game diatas tidak jauh dari saling membunuh dan yang lebih
parahnya lagi game among us mengajarkan anak – anak untuk berbohong dan
memfitnah temannya. Jika berbohong sudah menjadi kebiasaan maka hal ini akan
terus terbaawa oleh anak – anak hingga dewasa, dan yang dikhawatirkan generasi
mendatang menjadi generasi yang gemar berbohong dan mefitnah sehingga
kehancuran sudah di depan mata.
Lantas dimanakah
peran guru? Apakah guru hanya cukup dengan memberi nasihat tanpa memberi solusi
alternatif? Anak – anak membutuhkan pengalih dari game yang biasa mereka
mainkan. Mereka butuh permainan yang menyenangkan, namun game tersebut
mengandung edukasi yang sangat tinggi dan nilai – nilai karakter kebangsaan
yang kelak akan membangun negeri ini. Tidak dapat dipungkiri jika saat ini tren
bermain game menjadi sangat popular dikalangan anak – anak, namun masih masih
sedikit developer game yang mengarah ke arah edukasi dalam gamenya. Sehingga guru
dituntut untuk mampu membuat game yang menarik dan menyenangkan. Kenapa harus
guru? Karena guru faham apa yang menjadi kebutuhan bagi anak – anak disetiap
jenjangnya. Untuk membuat game yang menarik tidak hanya dengan konsep yang
menarik namun membutuhkan kemampuan ngoding juga. Sehingga guru dituntut untuk
mampu ngoding dan menciptakan gamenya sendiri sesuai kebutuhan pembelajaran.
Pembelajaran dengan menggunakan permainan selama daring akan menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan. Jika setiap guru menciptakan game dalam setiap pembelajarannya maka akan menjadi aktifitas siswa dalam pembelajaran daring dan siswa pun akan menggunakan waktu belajarnya untuk menyelesaikan game yang diberikan oleh guru. Sejatinya game yang disukai oleh siswa adalah yang bersifat berjenjang (ada levelnya) dan memiliki tingkat kesulitan yang berbeda – beda. Berjenjang dan tingkat kesulitan yang berbeda – beda sama halnya seperti belajar. Belajar ada level dan setiap level memiliki tingkat kesulitan. Untuk menciptakan game itu sendiri, guru membutuhkan skill coding untuk memahami beberapa bahasa pemrograman. Sehingga, saat ini bukan levelnya seorang guru sebagai user dari aplikasi yang sudah ada, namun menciptakan aplikasi sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Dan untuk membuat aplikasi sesuai kebutuhan pembelajaran, guru harus bisa ngoding.
#PGRI, #KOGTIK, #EPSON dan #KSGN
Profil Penulis
Hilman Nuha Ramadhan, S.Pd.
Dilahirkan di Kota Kembang (Bandung), pada tanggal 9 April 1991. Merupakan anak kedua dari tigas bersaudara. Menempuh pendidikan formal dimulai dari SD YWKA III, MTs Al-Falah, SMAN 6 Bandung, dan kuliah S - 1 di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Matematika. Pengalaman mengajar dimulai di Alfa Centauri Bandung, di lembaga bimbingan belajar Fokus Study Club Jakarta, dan sekarang di SMP Islam Nurul Fikri Boarding School. Beberapa prestasi telah diraih dari Juara 3 Indonesia Teacher Prize 2019 presented by ruang guru
kemudian peserta terbaik ketiga pada Joyfull Learning in Mathematics Education for junior high School Mathematics Teacher by SEAMEO QITEP in Math 2019 di Jogjakarta. Kontributor Lomba Aplikasi Mobile Kihajar 2019 diselenggarakan oleh BPMPK. peraih silver medal pada ajang READ1 online Competition for Teacher tingkat SMP 2020. Juara Favorit pada kontes guru online yang diselenggarakan oleh Erlangga.
No comments:
Post a Comment