Sebagai contoh : bagaimana caranya menjalaskan bahwa 1 + 1 = 2 kepada anak-anak yang belum mempelajari hal tersebut. Pernahkah kita melihat bagaimana buku-buku yang disajikan kepada anak TK maupun anak SD kelas I atau II. Buku tersebut banyak sekali gambar, baik gambar yang berwarna maupun gambar yang tidak berwarna. Setelah kita lihat, ternyata anak-anak seumuran TK hingga SD kelas I dan II hanya mampu berpikir konkret saja, berpikir terhadap apa yang ada dalam pandangannya. Sama hal nya dengan menjelaskan 1 + 1 = 2, mesti ada ilustrasi terhadap hal tersebut. Misalnya kita menggunakan boneka yang sama. Satu boneka digabungkan dengan satu boneka yang sama pula akan menjadi dua boneka. Boneka tersebut sebagai media, alat bantu dalam menyampaikan informasi yang akan diberikan oleh pendidik kepada peserta didik. Sehingga abstrak itu adalah tidak konkret, dan matematika itu abstrak. Sehingga butuh peragaan bagi peserta didik yang masih berpikir konkret.
Alat peraga, menurut Estiningsih (1994) merupakan media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri dari konsep yang dipelajari.
Didukung oleh pendapat piaget, masa remaja (pada tingkat SMP dan SMA) telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir orientasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkret. Selain itu, Perkembangan kognitif bersifat tahapan, urutan tahapan berlaku secara universal tapi batasan waktu berbeda-beda tergantung budaya. Sehingga, masa remaja merupakan masa perkembangan dalam berpikir abstrak.
Siegelman dan Shaffer menambahkan, bahwa pada periode konkret, anak mungkin mengartikan sistem keadilan dikaitkan dengan polisi atau hakim, sedangkan remaja mungkin mengartikannya secara lebih abstrak, yaitu sebagai suatu aspek kepedulian pemerintah terhadap hak-hak warga masyarakat yang mempunyai interes yang beragam.
No comments:
Post a Comment